Oleh: Andreas Sumual | Ketum Setya Kami Pancasila
SETIAP tanggal 28 Oktober, gema Sumpah Pemuda selalu menggugah kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang makna persatuan. Namun, pertanyaan yang kerap muncul di era modern ini adalah: apakah semangat Sumpah Pemuda masih relevan di tengah dunia yang berubah begitu cepat? Jawabannya: justru kini, lebih dari sebelumnya, semangat itu dibutuhkan — bukan sekadar dihafal, tetapi dihidupkan kembali dalam tindakan nyata.
Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar tiga kalimat yang mengandung “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”, tetapi juga sebuah pernyataan cinta: cinta pada tanah air, cinta pada sesama, dan cinta pada kehidupan. Ia lahir dari keberanian generasi muda untuk menyingkirkan sekat etnis, agama, dan kepentingan, lalu menyatukan tekad demi kemerdekaan dan kehormatan bangsa. Nilai-nilai itulah yang kini perlu diterjemahkan ulang oleh pemuda modern dalam konteks zaman yang serba digital, serba cepat, dan sarat informasi.
Persatuan dalam Keberagaman: Menemukan Harmoni di Tengah Perbedaan
Hari ini, tantangan bangsa tidak lagi datang dari penjajahan bersenjata, melainkan dari polarisasi dan perpecahan sosial di dunia maya maupun nyata. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, sering berubah menjadi medan konflik opini dan ujaran kebencian. Di sinilah makna persatuan dalam keberagaman diuji.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekayaan. Pemuda masa kini harus mampu menjembatani perbedaan dengan empati, menukar prasangka dengan dialog, dan mengganti rivalitas dengan kolaborasi. Semangat Bhinneka Tunggal Ika mesti kembali dihidupkan, bukan hanya dalam simbol, tetapi dalam tindakan — dalam cara kita berkomunikasi, bekerja, dan membangun masa depan bersama.
Nasionalisme yang Adaptif: Cinta Tanah Air di Tengah Arus Global
Cinta tanah air di era digital tidak cukup diwujudkan lewat slogan atau bendera di profil media sosial. Nasionalisme modern adalah kesadaran untuk menjaga bumi, menghormati budaya lokal, mendukung ekonomi rakyat, dan menolak segala bentuk ketidakadilan.
Pemuda yang nasionalis bukan yang menutup diri dari dunia luar, tetapi yang mampu berdiri tegak di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan jati dirinya. Mereka memanfaatkan teknologi bukan untuk menyebar kebencian, melainkan untuk berbagi ilmu, menebar kebaikan, dan memperkuat solidaritas bangsa. Inilah nasionalisme yang adaptif — fleksibel terhadap kemajuan, namun kokoh dalam nilai.
Bahasa Indonesia: Jembatan yang Menyatukan Pikiran dan Perasaan
Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang batin yang menyatukan ratusan bahasa daerah dalam satu suara. Di tengah derasnya pengaruh bahasa asing dan budaya global, menjaga kemurnian dan keindahan Bahasa Indonesia berarti menjaga martabat bangsa.
Pemuda masa kini harus bijak menggunakan bahasa — baik di ruang publik maupun digital. Sebab di era media sosial, kata-kata bisa menyatukan, tapi juga bisa memecah. Menggunakan bahasa yang santun, inklusif, dan penuh empati adalah wujud nyata dari semangat Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi persaudaraan dan kesetaraan.
Gotong Royong dan Solidaritas: Jiwa Kolektif yang Tak Lekang Waktu
Gotong royong adalah DNA bangsa Indonesia. Jika dulu ia diwujudkan melalui kerja bersama di ladang dan kampung, kini ia hadir dalam bentuk baru: kolaborasi digital, gerakan sosial, penggalangan dana daring, dan inisiatif kemanusiaan.
Di tengah krisis dan bencana, generasi muda membuktikan bahwa semangat saling tolong-menolong tidak pernah padam. Mereka bergotong royong dengan teknologi, menjangkau yang jauh, membantu yang tak dikenal, dan memulihkan yang terdampak. Inilah bentuk baru solidaritas yang melampaui ruang dan waktu — semangat lama dengan wajah baru.
Pancasila: Kompas Moral dalam Keberagaman
Sumpah Pemuda dan Pancasila adalah dua jiwa yang tak terpisahkan. Pancasila menjadi fondasi untuk menjaga kesepahaman di tengah keberagaman. Nilai Ketuhanan menuntun manusia untuk menghormati ciptaan Tuhan, baik manusia maupun alam. Nilai Kemanusiaan dan Keadilan mengajarkan kita untuk hidup selaras, bukan hanya dengan sesama, tapi juga dengan bumi, tumbuhan, dan fauna yang menopang kehidupan.
Jika semangat Sumpah Pemuda adalah api, maka Pancasila adalah minyak yang membuatnya terus menyala. Keduanya membentuk arah moral bangsa: bersatu tanpa menyeragamkan, beragam tanpa berpecah, dan maju tanpa kehilangan akar.
Penutup: Menghidupkan Kembali Api Sumpah Pemuda
Generasi muda Indonesia hari ini memegang tanggung jawab besar: menjaga warisan semangat Sumpah Pemuda agar tidak padam di tengah derasnya arus globalisasi. Mereka harus menjadi penjaga persatuan, pembawa cahaya kebenaran di tengah gelombang hoaks, serta pelopor gotong royong di dunia nyata dan maya.
Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan seruan abadi agar setiap anak bangsa menyatukan cinta, pikiran, dan arah perjuangan. Karena selama masih ada pemuda yang mencintai tanah air dengan tulus dan berpikir dengan jernih, Indonesia akan terus hidup — bukan hanya sebagai negara, tetapi sebagai cita-cita yang selalu tumbuh di dada setiap generasi.***
