Penulis: Letjen TNI (Purn) Besar Harto Karyawan | Pembina Pasulukan Loka Gandasasmita
AIR adalah sumber kehidupan. Namun, siklus alami air kini semakin terganggu akibat ulah manusia.
Untuk menjaga keseimbangan alam, kita harus mengembalikan proses perjalanan air pada siklus panjang secara alami—bukan membiarkannya terjebak dalam siklus pendek yang merusak.
Siklus air atau siklus hidrologi dimulai dari proses evaporasi—saat panas matahari menguapkan air dari laut, sungai, dan danau menjadi uap air yang naik ke atmosfer. Tumbuhan juga berperan melalui transpirasi, melepaskan uap air ke udara.
Ketika uap air ini naik dan mendingin, terjadi kondensasi, membentuk awan. Jika awan menjadi terlalu berat, air jatuh kembali ke bumi sebagai presipitasi, berupa hujan, salju, atau embun.
Air hujan kemudian mengalir ke wilayah tangkapan air—seperti hutan, sawah, danau, ladang, serta lubang resapan biopori—yang memungkinkan air meresap ke dalam tanah.
Proses infiltrasi dan perkolasi memungkinkan air hujan masuk ke lapisan tanah hingga mencapai akuifer, yaitu lapisan batuan berpori yang menyimpan air tanah.
Dari sinilah muncul mata air yang mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut, melengkapi siklus panjang air yang sehat dan berkelanjutan.
Sayangnya, ketika hutan gundul dan daerah tangkapan air hilang, air hujan tidak lagi mampu meresap ke dalam tanah.
Terjadilah siklus pendek, di mana air langsung mengalir ke sungai dan laut tanpa proses peresapan. Akibatnya, persediaan air tanah menurun, sumur mengering, dan mata air mati.
Kondisi ini diperparah dengan pengeboran air tanah berlebihan oleh industri yang tidak terkendali.
Ketika siklus panjang terputus, bencana pun muncul: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan penurunan muka tanah. Alam kehilangan keseimbangannya, sementara manusia kehilangan sumber kehidupan.
Solusinya sebenarnya sederhana, namun memerlukan kesadaran kolektif. Pertama, penghijauan kembali hutan sebagai daerah tangkapan air. Kedua, pembuatan lubang resapan biopori di hutan, sawah, perumahan, dan perkotaan untuk mempercepat peresapan air.
Ketiga, perbaikan sistem sengkedan di wilayah pegunungan agar air tidak langsung mengalir turun, melainkan tertahan dan meresap.
Selain itu, sumur resapan di area industri dan permukiman wajib dibangun, disertai parit resapan di sepanjang jalan agar air hujan tidak langsung terbuang ke sungai dan laut.
Di pesisir, rehabilitasi hutan bakau penting untuk mencegah abrasi dan menjaga keseimbangan air laut serta air darat.
Yang harus dihindari adalah pola lama: membangun gorong-gorong hanya untuk membuang air secepatnya.
Paradigma itu keliru. Yang dibutuhkan adalah infrastruktur peresapan, bukan pembuangan. Biarkan air kembali ke tanah, bukan lari ke laut tanpa siklus.
Ingat, ketika mata air mati, yang tersisa hanya air mata bagi generasi penerus kita. Mari jaga bumi dengan memulihkan siklus panjang air—karena darinya lahir kehidupan yang sejati.
Semoga bermanfaat.***
Seluruh materi dalam tulisan ini menjadi tanggaung jawab penulis
